Praktisi PR – Imogen PR. Pada suatu hari, angin dan matahari bertengkar, memperebutkan siapa diantara keduanya yang paling kuat dan berkuasa. “Akulah yang paling kuat karena aku bisa membuat angin topan dan tornado yang merusak bumi,” kata angin pongah. “Huh, siapa bilang. Akulah yang paling berkuasa. Dengan kekuatan panas aku bisa membakar apa saja di bumi,” matahari tak mau kalah.
Kemudian mereka melihat seseorang memakai mantel berjalan di bumi. “Nah itu ada korban. Bagaimana kalo kita bertaruh. Siapa yang bisa membuka mantel manusia itu maka dia yang akan menang,” angin melempar ide. “Boleh, siapa takut,” matahari tertantang. Angin mulai duluan. Dia menghembuskan angin yang keras. Namun semakin keras angin berhembus, semakin kuat manusia itu merapatkan mantelnya.
Giliran matahari. Dia panaskan bumi perlahan. Manusia itu mulai kegerahan dan akhirnya melepaskan mantelnya secara sukarela. “Hore aku yang menang! Manusia itu tanpa sadar mengikuti keinginanku,” kata sang matahari.
Praktisi PR Dalam Mengelola Isu
Cerita tentang angin dan matahari ini tertuang dalam sebuah buku “The Fall of Advertising and the Rise of PR” praktisi PR karangan Al Ries dan Laura Ries. “Advertising is the wind, Public Relations is the sun,” katanya. Kekuatan Public Relations (PR) memang menghanyutkan. Orang tak sadar digiring menuju sebuah pesan inti dari narasumber.
Meski di era post truth, pendekatan Praktisi PR akhirnya dipakai juga untuk menyebarkan berita bohong atau hoax. Persaingan untuk memenangkan hati publik dilakukan oleh sebagian orang dengan menghalalkan segala cara. Ini memang fenomena global tapi di Indonesia, jauh lebih parah. Orang kita mudah termakan hoax. Kenapa?
Fakta pertama, UNESCO menyebutkan Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca!
Riset berbeda bertajuk para praktisi PR “World’s Most Literate Nations” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca, persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca, peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.
Fakta kedua dari para praktisi PR, 60 juta penduduk Indonesia memiliki gadget, atau urutan kelima dunia terbanyak kepemilikan gadget. Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi negara dengan pengguna aktif smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Ironisnya, meski minat baca buku rendah tapi data Wearesocial mengungkap, orang Indonesia bisa menatap layar gadget kurang lebih 9 jam sehari. Tidak heran dalam hal kecerewetan di media sosial, kita berada di urutan ke 5 dunia. Juara deh. Jakarta lah kota paling cerewet di dunia maya karena sepanjang hari, aktivitas kicauan dari akun Twitter yang berdomisili di ibu kota Indonesia ini paling padat melebihi Tokyo dan New York. Laporan ini berdasarkan hasil riset Semiocast, sebuah lembaga independen di Paris.
Warga Jakarta tercatat paling cerewet menuangkan segala bentuk unek-unek di Twitter lebih dari 10 juta tweet setiap hari. Di posisi kedua peringkat dunia kota teraktif di Twitter ialah Tokyo. Menyusul di bawah Negeri Sakura ada warga Twitter di London, New York dan Sao Paulo yang juga gemar membagi cerita. Bandung juga masuk ke jajaran kota teraktif di Twitter di posisi enam. Dengan demikian, Indonesia memiliki rekor dua kota yang masuk dalam daftar riset tersebut.
Jadi bisa dibayangkan, mereka yang ilmunya minim, malas baca buku, tapi sukanya menatap layar gadget berjam-jam dan paling cerewet di media sosial. Jangan heran Indonesia jadi konsumen yang empuk untuk info provokasi, hoax dan fitnah. Begitu dapat informasi di layar gadget langsung like dan share. Padahal informasinya belum tentu benar. Inilah gambaran publik Indonesia yang harus direbut hatinya oleh para praktisi PR.
Untuk bisa memenangkan hati publik itu seorang PR Profesional harus memiliki karakter PR Tabayun. PR Tabayun memiliki sejumlah pilar yaitu “Shidiq”, pembela dan penegak kebenaran. Kemudian “Amanah”, yakni dapat dipercaya. Seorang PR harus bisa dipercaya baik oleh organisasinya, maupun publik. Dia harus jujur menyampaikan kejadian yang sesungguhnya. Tentu tak ketinggalan yaitu “Fathonah”, artinya cerdas dan berwawasan luas. Dengan karakter seperti ini, apapun krisis komunikasi yang dihadapi, siapapun publik yang dihadapi, bagaimanapun situasinya akan mudah untuk diatasi.
Buku Crisis Public Relations : Konsep.Kasus.Strategi “Better to understand than to fear” yang ditulis oleh kawan-kawan saya praktisi PR ini : Firsan Nova, M. Akbar dan Dian Agustine Nuriman, menggambarkan hal itu dengan sangat lugas. Dibalut dengan story-telling, kisah-kisah yang terkemuka dan terkini. Banyak buku tentang krisis PR dituturkan dengan berat, dengan teori-teori njelimet yang tambah membuat pusing. Namun membaca buku ini seperti membaca sebuah novel. Ringan tapi berisi. Tanpa sadar kita akan menuntaskan buku ini dengan segala ilmu baru tentang Public Relations dan Krisis PR. Begitu lancar mengalir. Menghanyutkan. Persis seperti kisah angin dan matahari diatas.
Oleh Jojo. S. Nugroho, Managing Director Imogen PR
***